oleh : Rany Agustina Susanti
Judul buku : 99 Cahaya di Langit Eropa - Perjalanan Menapaki Jejak Islam di Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Jumlah Halaman : 412 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Cetakan I, 2011
Secara garis besar, buku ini berisi kisah perjalanan yang dialami oleh seorang Hanum Rais dan suaminya selama tinggal di Eropa. Si penulis menceritakan seluruh perjalanannya dalam menjelajahi negara Austria, Prancis, Spanyol, dan Turki, dengan bahasa yang ringan namun sarat akan hikmah dan pelajaran sejarah yang berarti. Banyak informasi baru yang saya dapatkan dari buku ini, seperti deskripsi gaya arsitektur gothic dan baroque gereja, serta asal bunga Tulip dan cappuccino yang ternyata berasal dari Turki. Belajar sejarah tidak harus melalui buku teks yang kering atau menjemukan, dan saya menemukannya dalam buku ini.
Kisahnya bermula dari persahabatan Hanum dengan seorang wanita Turki bernama Fatma di kelas bahasa yang ia ikuti di Vienna, Austria. Dari wanita inilah ia kemudian menemukan banyak hal tentang ketulusan hati dan figur muslim yang baik di tengah sekulerisme Eropa. Bukan hanya ketulusan, namun juga ironi, termasuk mengenai keberadaan Vienna Islamic Centre yang terletak di samping Sungai Danube, lokasi yang sering dipergunakan oleh orang setempat untuk melakukan tindakan yang "tidak baik". Namun di sisi lain ternyata ironi ini membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Banyak orang yang pada akhirnya justru tertarik untuk semakin belajar mengenai Islam ke tempat ini, sehingga keberadaan Islamic Center ini tetap dipertahankan. Begitulah penuturan Imam Hashim imam masjid tersebut kepada Hanum. Perkenalannya dengan Imam ini pula yang menjadi gerbang pertemuannya dengan seorang Muslimah Prancis, Marion lulusan studi Islam Abad Pertengahan Sorbonne University Prancis.
Marion, seorang mualaf yang memiliki banyak pengetahuan, menunjukkan kepada Hanum tempat-tempat di Paris, yang lebih menarik dibandingkan dengan Eiffel atau Louvre. Selain itu, Ia pun menceritakan mengenai misteri yang ada di kota Paris seperti status kemusliman Napoleon Bonaparte, fenomena satu garis bangunan (Axe Historique) antara air mancur besar, monument obelisk Mesir, jalan Champs-Elysees, monument Arc de Triomphe, yang menghadap ke arah ka’bah. Dari Marion pula Hanum mengetahui tentang kalimat tauhid dalam bentuk tulisan Arab Kuffic, yang ada di lukisan Bunda Maria Ugolino.
Tulisan Arab Kuffic merupakan tiruan dari tulisan Arab, yang saat itu menjadi salah satu simbol kemajuan peradaban di dunia.
Ketika membaca mengenai misteri yang ada di balik kota Paris, ada sebersit keraguan yang mampir di benak saya. Benarkah ini, atau hanya sekedar teori konspirasi biasa yang berusaha mengagungkan Islam namun salah tempat. Begitu pula yang dirasakan oleh Hanum ketika mendengarkan penuturan Marion. Well, wallahua’lam..hanya Allah yang Maha Mengetahui tentang hal ini memang.
Namun perkara kedigdayaan peradaban Islam di Abad Pertengahan Eropa (yang tidak ingin disebut Abad Kegelapan) merupakan suatu perkara yang tidak dapat dielakkan. Semua bangsa pasti tidak bisa menolaknya. Di masa ketika Galileo Galilei dihukum pancung, karena pendapatnya yang bertentangan dengan pendapat gereja bahwa bumi adalah pusat tata surya, Ibnu Haitsam telah terlebih dahulu menemukan kamera. Dan masih banyak lagi ilmuwan Islam yang lahir di zaman itu, yang kini menjadi rujukan ilmuwan di Barat dan Timur. Islam pernah menjadi sumber cahaya yang menerangi Eropa yang saat itu diliputi kegelapan.
Banyak di antara umat Islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori kekhalifahan Umayyah hampir 2 kali lebih besar daripada wilayah kekaisaran Roma di bawah Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban Islam lah yang memperkenalkan Eropa pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya meniupkan angin renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati (halaman 5)
Kota Cordoba dan Granada pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam dulu. Hanum menggambarkannya melalui deskripsi bangunan Taman Generalife dan Istana Nasrid dalam komplek Alhambra yang indah. Namun juga ironi keruntuhannya, melalui ilustrasi Benteng Alcazar yang menjadi tempat penyerahan kekuasaan dari Sultan Boabdil kepada Isabela-Ferdinand; dan juga sejarah Katedral Mezquita. Cordoba pernah menjadi pusat peradaban Islam dulu, dan Granada menjadi kota terakhir yang dimilikinya sebelum akhirnya berpindah tangan ke Kerajaan Spanyol. Dan kini, jejak Islam hampir hilang tak berbekas dari tanah Spanyol. Jika melihat sisa peninggalan di Sevilla dan Barcelona sekarang, mata kita akan disuguhi gambaran kekuatan penjelajahan samudera Kerajaan Spanyol, seperti yang pernah dilakukan Vasco da Gama dalam menemukan Semenanjung Harapan dan Columbus ketika menemukan Amerika. Padahal Umat Islam dulu adalah traveler yang tangguh, jauh ratusan tahun sebelum Vasco da Gama menemukan Semenanjung Harapan.
Islam datang dengan damai dalam semangat convivencia, semangat persatuan dalam perbedaan. Pada masa keemasannya, ketiga agama yang berbeda (Nasrani, Yahudi, dan Islam) dapat hidup secara berdampingan. Hal ini dituturkan Hanum melalui sejarah arah mimbar yang dimiliki Mezquita Cordoba. Sebenarnya mimbar yang dimiliki Mezquita tidak langsung menghadap ke arah ka’bah. Masih harus digeser sedikit lagi ke arah tenggara untuk mendapatkan posisi yang tepat. Namun jika ingin mengubah arah mimbar, gereja kecil yang terletak di dekat Mezquita harus dirobohkan, dan Sultan yang berkuasa saat itu tidak menghendaki hal tersebut karena dapat mengganggu kedamaian peribadatan umat lain. Akhirnya saat itu (dan hingga saat ini) mimbar Mezquita tidak menghadap kiblat, sehingga dulu kaum Muslim jika ingin beribadah harus menggeser posisinya sedikit ke tenggara. Begitupula Yahudi dibiarkan beribadah dengan tenang. Kita masih dapat melihat sisa perkampungan dan sinagog Yahudi, yang terletak dekat Mezquita, hingga sekarang.
Namun sayangnya, amanat hidup damai tiga agama pada peradaban Islam, tidak dilanjutkan pada masa Kerajaan Spanyol. Sepuluh tahun setelah Isabel-Ferdinand memegang tampuk kekuasaannya, Kerajaan ini melakukan pembaptisan massal pada seluruh warganya, dan mengakibatkan gambaran peradaban Islam serta agama lainnya putus dari rantai sejarah Spanyol.
Buku ini bukan hanya sekedar menggambarkan masa lalu yang gemilang dan kita menjadi terlena terhadapnya. Buku ini bukan hanya berpesan tentang romantisme masa lalu.
Those who don’t learn from history are doomed to repeat it (George Santayana)
Apa yang membuat Islam tersapu dari tanah Spanyol? Apa yang dapat kita pelajari dari masa lalu supaya kita tidak lagi terperosok dan mengulangi kesalahan yang sama di masa lampau. Islam dulu datang dengan kedamaian dan megah dengan kebijakan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta sistem kehidupan yang menentramkan. Kini Islam harus kembali datang, walaupun belum dalam bentuk peradaban, dengan misi yang sama yaitu rahmatan lil ‘alamin.
Peradaban Islam dulu hancur ketika yang muncul adalah ketamakan dan keegoisan. Hal ini digambarkan Hanum dalam kisah kekalahan besar yang dialami oleh Kara Mustafa Pasha, panglima Kekhalifahan Utsmani (Turki Ottoman) saat akan menaklukan Vienna. Turki Ottoman dipukul mundur oleh koalisi Austria, Jerman, dan Polandia. Sumber utama kekalahan itu adalah karena niat yang salah dari sang panglima perang, yang melakukan penyerangan semata-mata hanya untuk penaklukan yang penuh dengan kesombongan. Hingga kini, warga Austria mengenang sang panglima sebagai pembunuh yang telah memporakporandakan Vienna, dan kebencian terhadap Turki disimbolkan dengan bentuk roti croissant.
Eropa bukan hanya tempat untuk berwisata atau untuk mencari ilmu pengetahuan semata. Banyak pelajaran kehidupan yang bisa digali dari tempat ini, dan itulah yang ingin saya cari selama perjalanan 10 bulan ini. Saya ingin melihat realitas sejarah, dan mengambil banyak pelajaran dari itu. Bukan hanya untuk pergi berwisata ke tempat yang menarik dikunjungi dengan biaya semurah-murahnya. Tidak munafik memang, semua pasti ingin untuk berfoto di tempat-tempat wisata Eropa dan membeli sedikit oleh-oleh dari sana. Namun ada misi lain yang ingin saya tuju, yaitu untuk memperluas wawasan dan memperdalam keimanan. Selama kurang lebih 6 bulan saya tinggal di sini, saya mencoba belajar membuka mata dan hati tentang realitas yang selama ini mungkin tidak pernah saya sentuh. Saya belajar menerima hal-hal baru, dengan tetap merefleksikannya pada keimanan. Belajar untuk mencari hikmah dalam setiap perjalanan. Belajar untuk menjadi pribadi yang kuat dan bijak. Yang kuat menahan diri, mengalah bukan karena kalah tetapi mengalah karena sudah memetik kemenangan hakiki. Di sini saya kembali merenungkan tentang makna dan tujuan hidup. Dan saya makin menyadari ada masih banyak misteri tentang Islam yang masih terkubur di benua ini dan belum tersingkap. Ya masih banyak..
Esensi sejarah bukanlah hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lebih dari itu : siapa yang lebih cepat belajar dari kemenangan dan kekalahan.
“Pergilah, jelajahilah dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan apa pun yang kaupilih akan mengantarkanmu menuju titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kautemukan di titik nol perjalananmu. Perjalanan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaan. Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk menemukan jalan pulang. Sejauh apa pun kakimu melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal” (The Alchemist-Paulo Coelho)
Semoga Allah senantiasa meluruskan niat saya, dan segera mempertemukan dengan apa yang saya cari.
No comments:
Post a Comment