Monday, June 27, 2011

Bagaimanakah SHOLAT kita?


(sebuah refleksi Rajab 1432 H)

Allahu akbar Allahu akbar
Allahu akbar Allahu akbar

Suara adzan kembali mengalun lembut di telinga...
menyeru setiap hamba untuk kembali bersujud pada-Nya...

Sholat adalah suatu ibadah yang menjadi bagian dari rukun Islam. Rukun islam yang kedua. Sholat juga disebut sebagai tiang agama.

“Shalat adalah tiang agama,
barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan
barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Baihaqi)


Bahkan sholat pun bisa menjadi pembeda antara orang mukmin dan orang kafir.

“Batas antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Bagi sebagian dari kita, ibadah sholat adalah ibadah yang diperkenalkan oleh kedua orang tua kita sejak kita masih kecil. Dengan usia yang semakin dewasa, sepertinya sudah ratusan...bahkan ribuan kali kita mengerjakannya. Dalam sehari saja, kita wajib melaksanakan sholat 5 waktu. Apalagi kalau ditambah sholat sunnah, seperti sholat sunnah rowatib, sholat dhuha, sholat witir, sholat tahajjud, dan sholat-sholat sunnah lainnya. Jumlahnya pasti sudah tak terhitung lagi. Akan tetapi, sudahkan sholat kita benar? sudahkah sholat kita bermakna? sudahkah sholat kita berbekas?

Apakah sholat kita sudah benar?

Sholat itu merupakan suatu ibadah yang terdiri dari rangkaian gerakan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ritual sholat yang kita lakukan hendaknya mencontoh apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW.

"Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat " (HR Ahmad dan Bukhari dari Malik bin al-Huwairits)

Ritual yang dimaksud adalah tata cara pelaksanaan ibadah sholatnya (fiqh sholat), mencakup syarat, rukun/gerakan, jumlah roka'at, dan waktu pelaksanaannya.

Dalam hal ritual ini, kita tidak boleh merubahnya semau kita. Misalnya, sholat shubuh yang "hanya" 2 roka'at, kita jadikan 4 roka'at, karena kita ingin menambah pahala. Padahal, yang ada malah dosa...bukan pahala. Kalaupun ada sholat yang bisa kita ringkas (dikenal dengan qashar), dari 4 roka'at menjadi 2 roka'at (kecuali maghrib, tetap 3 roka'at), ada beberapa ketentuan yang menyertai (misal. kita sedang dalam perjalanan).

Dari Ibnu Umar, r.a, berkata: 'Pernah saya menemani Nabi Saw dan
sholat beliau dalam perjalanan tidak lebih dari dua raka'at' "(HR Bukhari)


Begitu juga dengan waktu sholat. Kita tak boleh menggeser-geser waktunya. Dengan alasan capek, malas, ada keperluan, atau apapun. Nah, bagaimana dengan pelaksanaan sholat jama' (menggabungkan pelaksanaan dua sholat ke dalam satu waktu sholat)? Kalau yang ini, tentu saja boleh, asal sesuai dengan aturan dan kondisinya. Begitu juga, bagi yang tidak mampu melaksanakan sholat dengan berdiri, boleh dengan duduk, dan seterusnya.

Dari 'Ali, r.a, katanya : bersabda Nabi Saw : 'Sholatlah orang yang sakit dengan berdiri jika ia bisa;
bila tidak mampu maka sholatlah dengan duduk; jika tidak mampu untuk sujud, isyaratkan saja dengan kepala;
dan dijadikannya sujudnya itu lebih rendah dari ruku'nya;
jika tidak mampu sholat duduk, maka sholatlah sambil berbaring ke kanan serta menghadap kiblat;
jika tidak mampu juga maka sholatlah dengan menelentang; sedang kedua kakinya membujur ke arah kiblat' -
(HR Daruquthni)


Kalau kita amati, ada beberapa kemudahan (keringanan) yang Allah berikan agar kita tetap bisa melaksanakan ibadah ini. Sudahkah ini kita pahami sebagai tanda bahwa sholat adalah ibadah yang utama?

Apakah sholat kita bermakna?

Makna secara bahasa dari sholat adalah berdo'a. Hal itu dapat dilihat dari apa saja yang kita baca selama sholat. Sholat adalah sebuah sarana / bentuk komunikasi secara langsung seorang hamba dengan Rabb-nya.

"Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku. " (QS Thahaa 14)


Nah, untuk menjadikan sholat kita penuh makna...tentu syaratnya adalah kita memperhatikan fiqh sholatnya, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Tidak hanya dengan itu, kita pun harus melaksanakannya dengan penuh kekhusyukan. Khusyu' ini memang bukan sesuatu perkara yang mudah, tapi penting.

Dari Utsman berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
”Tidaklah seorang muslim mendatangi shalat wajib lalu membaguskan wudhu, khsuyu dan ruku’nya kecuali ia menjadi pelebur dosa-dosanya yang lalu kecuali dosa besar. Dan itu berlaku sepanjang masa.” (HR. Muslim)


Al Qurthubi menyebutkan bahwa khusyu' adalah suasana di dalam jiwa yang tertampakkan pada anggota tubuhnya berupa ketenangan dan ketundukan. Hmm...subhanalloh, khusyu' itu sungguh sebuah anugerah bagi setiap mukmin yang mau berusaha.

Bagaimana meraihnya? Ada banyak tips yang disampaikan dari para ulama' dan salafush shalih. Secara umum bisa disimpulkan bahwa kiat untuk menumbuhkan kekhusyukan dalam sholat adalah : meluruskan niat bahwa sholat yang didirikan hanya untuk Allah saja, konsentrasi (tidak memikirkan hal yang lain), merasakan kehadiran Allah, mentadabburi bacaan sholat (mengerti dan memahami maknanya), dan menikmati setiap gerakan sholat (tidak terburu-buru). Insya Allah dengan begitu, kita akan dapat melaksanakan ibadah sholat dengan khusyu.

"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) yang khusyu dalam sholatnya." (QS Al Mu'minun 1-2)

Apakah sholat kita berbekas?

Yang dimaksud "bekas" di sini adalah bukan saja bekas hitam di dahi kita karena bekas sujud. Tetapi, makna yang lebih dalam lagi. Yaitu, bekas sholat dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana bisa?

Sayyid Quthb menjelaskan bahwa pada dasarnya shalat adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi segala kenyataan yang harus dilalui.

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan cara bersabar dan melakukan shalat.
Dan (shalat) itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu.”
(QS Al Baqarah 45)


Dalam prakteknya, implementasi ayat ini telah dicontohkan Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Huzaifah ra , ia berkata:”Apabila Rasulullah saw menemui suatu kesulitan maka beliau selalu mengerjakan shalat (HR Ahmad, Abu Dawud-Durul Mantsur).

Jadi, sholat itu sendiri adalah solusi umat manusia dalam menjalani hidup. Karena sholat adalah cara kita untuk meminta pertolongan pada Dzat yang Maha Hidup dan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al Ankabut 45)

Inilah makna sosial dari sholat yang kita dirikan, dimana ia bisa membekas dalam diri (perilaku) kita. Sholat bisa menjadikan pelakunya, lebih bisa mengendalikan diri. Karena mereka yang mendirikan sholat dengan sempurna, senantiasa bisa mengingat Allah, merasakan pengawasan-Nya sebagai Dzat yang Maha Melihat. Mereka yang senantiasa mengingat Allah pun akan mendapatkan ketenangan hati.

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (QS Ar Ra'd 28)

Kesimpulannya adalah jika kita melihat masih banyak di antara kita yang suka STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan), berarti kesempurnaan sholatnya masih dipertanyakan. Karena berarti "buah" dari sholat itu belum nampak pada dirinya. Oleh karena itu, mari kita terus berupaya menyempurnakan sholat kita, sehingga sholat kita dinilai sebagai ibadah yang BENAR, BERMAKNA, dan BERBEKAS.

Amal pertama yang dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalat. Dan barangsiapa yang baik (diterima) shalatnya, maka baik (diterima) pula segala amalan yang lain, dan barangsiapa yang rusak (ditolak) shalatnya, maka rusak (ditolak) pula segala amalan lainnya” (HR Thabarani).

Semoga refleksi ini bisa menjadi pengingat diri sehingga kita akan semakin semangat dalam memperbaiki kualitas sholat kita.

Wallohu a'lam bish showab.

No comments:

Post a Comment