Wednesday, March 30, 2011
Memukul Isteri Dalam Pandangan Islam
INDAHNYA PAHALA BERINTERAKSI DENGAN AL QUR'AN
Dalam Islam setiap ibadah yang Allah dan Rasulullah anjurkan dan wajibkan memiliki keistimewaan sendiri bagi setiap muslim yang melakukannya. Ini karena ibadah itu adalah kebutuhan bagi setiap amal seseorang dalam hidup ini. Dengan ibadah yang dilakukan, diharapkan seorang muslim bisa semakin dekat hubungannya dengan Allah, Sang Pembuat aturan di jagad raya ini. Dengan ibadah itu pula kemudian hubungan dengan Allah akan berimbas kepada hablum minannaas (hubungan dengan manusia) yang merupakan manifestasi hablum minallah (hubungan dengan Allah).
Seperti layaknya ibadah ritual yang kita lakukan untuk taqwiyatunnafs (penguatan diri) dan taqorrub ilallah, ibadah al-Qur'an yang merupakan ibadah non mahdhoh juga memiliki keistimewaan tersendiri di mata Allah dan Rasul-Nya.
Janji-janji Allah dalam al-Qur'an:
1. "Itulah kitab yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa."(Qs al-Baqoroh: 2)
2. "Sesungguhnya al-Qur'an ini menunjuki kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang beriman yang beramal shaleh bahwa bagi mereka ganjaran pahala yang besar."(Qs al-Isra: 9)
3. "Dan sungguh telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk dihafal. Adakah orang yang mau mengambil pelajaran?" (Qs al-Qomar:15, 22, 32 dan 40)
4. "Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah (al-Qur'an), menegakkan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki yang Allah telah berikan, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah merugi."(Qs Fathir: 29)
Secara umum dalam ayat-ayat di atas Allah menegaskan bahwa demikian besar keutamaan dan pahala yang akan Allah janjikan kepada setiap muslim yang belajar al-Qur'an. Belajar dalam arti meningkatkan kemampuan bacaan dan pemahaman. Lalu kemampuan untuk menghafalkannya sebagai bekal mengamalkannya. Akumulasi aktivitas mulia inilah yang sangat Allah anjurkan kepada setiap kita yang menginginkan besarnya pahala tersebut. Oleh karena itu, tujuan hakiki dalam mempelajari al-Qur'an itu adalah zikrullah yang maksimal. "Dan zikir kepada Allah itulah yang terbesar.."(Qs al-Ankabut: 45).
Janji Rasulullah SAW dalam hadits-haditsnya:
Rasulullah bersabda tentang keutamaan dan pahala belajar dan mempelajari al-Qur'an ini:
1. "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur'an dan mengajarkannya."(HR.Bukhari)
2. "Bacalah olehmu al-Qur'an. Karena sesungguhnya al-Qur'an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa'at kepada para pembaca (pengamal dan penghafalnya)."(HR. Muttafaq alaihi).
3. Utsman bin Affan berkata: "Apabila hati kalian bersih niscaya kalian tidak akan pernah puas dengan al-Qur'an."
4. "Orang yang pandai membaca al-Qur'an akan bersama para duta-duta yang mulia lagi berbakti (kepada Allah). Dan orang yang membaca al-Qur'an dan dia merasa gagap dalam membacanya, maka baginya dua pahala."
Banyak lagi ayat dan hadits lainnya yang menerangkan tentang keutamaan ibadah interaksi dengan al-Qur'an ini. Dengan segala keterbatasan waktu dan aktivitas, setiap kita pastinya ingin sekali mendapatkan porsi yang besar tersebut. Bahkan kalau bisa memaksimalkan kegiatan kita dengan al-Qur'an dalam segala bentuk dan dimensinya. Ini mengingat kebutuhan umat kepada al-Quran saat ini harus terus diupayakan dan dibangkitkan. Terus terang ketertinggalan umat Islam era modern ini lebih disebabkan jauhnya mereka dari ajaran-ajaran yang dikandung al-Qur'an, sehingga menyebabkan izzah mereka jatuh dan hampir sirna.
Jadi, mari kita bangkit kembali meraih kemuliaan itu. Mari bersama-sama kita charge lagi keimanan dan pengetahuan kita melalui pembelajaran dan pemahaman yang intensif dengan al-Qur'an. Jangan sampai aktivitas dunia yang telah menyibukkan kita membuat porsi ibadah al-Qur'an kita tidak ada sama sekali!
Sebuah ungkapan mengatakan:
"Tidak akan menjadi baik umat ini sampai mereka mengikuti jejak perjuangan generasi sebelumnya." Wallahu a'lam bish-shawab.
(by. Hidayatullah/the)
http://muntadaquran.net/v2/arsip/tahfizh/1256-indahnya-pahala-berinteraksi-dengan-al-quran.html :
Tuesday, March 22, 2011
Birrul Walidain (berbakti pada orang tua)
Oleh : Ust Musyafa Ahmad Rahim
Saat itu, rumahnya masih diramaikan oleh mereka yang melakukan ta'ziyah. "Bersabar dan relakan kepergian Abu Muhammad, semoga Allah SWT akan menjadikan Muhammad lelaki yang berbakti kepada ibunya, sehingga dapat menghapus segala duka dan nestapa yang mungkin menimpa dirimu", begitu bunyi sebagian do'a yang diucapkan mereka. Dan begitulah keadaan Muhammad, ia menghabiskan masa kecilnya sebagai anak yatim, bersama ibunya yang sangat sayang kepadanya, sehingga sang ibu itu seakan ayah dan ibu sekaligus.
Seiring berjalannya waktu, masuklah Muhammad Sekolah Dasar, dan - subhanallah - semenjak kelas satu, sampai kelas enam, Muhammad selalu berada pada posisi ranking satu dengan nilai istimewa. Sebagai rasa syukur, sang ibu membuat "pesta" dengan mengundang para tetangga dan kerabat, pesta dari seorang janda yang hidup dengan bekerja di sebuah "perusahaan" kain tenun dengan gaji ala kadarnya untuk penyambung hidup diri dan putranya, dan itupun dilakukannya di rumah sendiri, dan setelah selesai ordernya, baru diserahkan kepada "perusahaannya".
Setelah malam tiba, dan para undangan pulang ke rumah masing-masing, sang ibu memanggil Muhammad, dan membisikkan kata-kata: "Putraku Muhammad, kamu sudah mulai tahu bahwa kehidupan ibumu sangatlah miskin, tetapi saya bertekad untuk terus bekerja menenun secara mandiri, lalu menjualnya, dan cita-citaku adalah agar engkau terus melanjutkan studi-mu sehingga engaku lulus sebagai seorang sarjana, sehingga keadaanmu akan jauh lebih baik di masa mendatang". Mendengar tekad ibunya, Muhammad menangis sambil merangkul ibunya, dan dengan kepolosan seorang bocah ia berkata: "Mama, kalau saya nanti masuk surga, insyaAllah akan aku beritahukan kepada papa, bahwa mama adalah seorang yang sangat mulia kepadaku". Mendengar jawaban lugu seperti itu, air mata Ummu Muhammad tidak dapat dibendung lagi, sambil tersenyum, ia elus kepala anaknya.
Waktu terus berjalan dan Muhammad telah lama belajar di sebuah universitas di negerinya dan tidak lama lagi akan menyelesaikan studinya dan akan menjadi seorang sarjana, sementara ibunya tetap berprofesi sebagai seorang penenun freeland dan menjualnya, seakan pekerjaan itu baru ditekuninya semenjak kemaren sahaja.
Suatu hari, Muhammad melihat satu kondisi yang membuatnya menangis, ia baru saja tiba dari rumah salah seorang temannya, ia dapati ibunya tertidur, pada wajahnya tampak garis-garis ketuaan dan kelelahan yang luar biasa, sementara di tangannya terpekang benang, kain tenun dan peralatan lainnya. Muhammad menangis, betapa ibunya telah sedemikian besar berjuang dan berkorban untuk dirinya. Di malam hari itu Muhammad tidak dapat tidur, dan paginya ia pun tidak masuk kuliah, bahkan ia bermaksud untuk mengikuti program kuliah di Universitas Terbuka saja, agar dapat menyambi bekerja guna meringankan beban ibunya. Mendengar niatan seperti itu sang ibu marah besar, dan di antara kalimatnya: "Keridhaanku kepadamu adalah kalau engkau menyelesaikan studi kesarjanaanmu seperti yang sekarang ini, dan bukan menjadi mahasiswa UT yang sambilan, dan aku berjanji, kalau engkau sudah lulus, dan mendapatkan pekerjaan, saya akan meninggalkan pekerjaanku ini".
Itulah yang kemudian terjadi, dan akhirnya Muhammad bersiap-siap untuk ikut wisuda dan ia mulai berangan-angan dan membayangkan mendapatkan pekerjaan agar dapat merehatkan ibunya yang semakin menua tersebut. Dan itulah yang terjadi kemudian, begitu lulus, Muhammad langsung mendapatkan pekerjaan.
Muhammad mulai bekerja dan sang ibu mulai menimang-nimang alat tenun untuk siap-siap ia hadiahkan kepada tetangganya, peralatan yang telah sekian lama menyertai hidupnya. Muhammad pun mulai menghitung hari-hari bekerjanya, ia mulai membayangkan gaji pertama yang akan diterimanya, ia mulai berfikir, untuk apa gaji pertama itu, apakah akan ia pergunakan untuk mengajak ibunya plesir, jalan-jalan, ataukah gaji itu ia pergunakan untuk membelikan baju dan perhiasan ibunya? Selagi ia berpikir dan melamunkan demikian, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan ibunya ke dalam kamarnya, dan pada wajahnya tampak kekuningan tanda kelelahan yang amat sangat, sang ibu berkata: "Muhammad, ibu merasa sangat letih, aku tidak tahu apa sebabnya". Tidak lama kemudian sang ibu pingsan.
Muhammad bergegas menolongnya, ia lupa dirinya, lupa pekerjaannya, hatinya telah ia tumpahkan kepada ibunya, ia bawa ibunya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan segera. Ibunya masuk ruang IGD dan ia tidak diperkenankan ikut masuk. Dengan panik ia menunggu di luar ruangan, batinnya tidak pernah berhenti untuk mendoakan kebaikan bagi ibunya. Tidak lama setelah itu, ruang IGD terbuka dan ia pun memburu seorang dokter yang tampak muncul. Sebelum ia bertanya, sang dokter berkata: "Mas Muhammad, bersabarlah dan relakan kepergian ibumu". Muhammad kehilangan keseimbangannya, dan terjatuh pingsan, dan itulah takdir Allah yang terjadi. Setelah sadar, tidak ada pilihan baginya kecuali menerima takdir Allah SWT, dan ia hantarkan ibunya ke tempat pemakamannya untuk menyusul sang suami yang telah lama mendahuluinya.
Tibalah hari di mana Muhammad menerima gaji pertamanya, tapi, apa arti gaji tanpa ibu, apa arti harta tanpa ia dapat membalas jasanya? Saat melamun begitu, tiba-tiba muncul gagasan dalam pikirannya: bagaimana caranya berbakti kepada sang ibu, walaupun ia telah meninggal dunia, dan akhirnya ia mendapatkan ide untuk mengkhususkan seperempat gajinya pada setiap bulannya untuk ia sedekahkan atas nama sang ibu, dan itulah yang kemudian terjadi.
Sudah ratusan sumur ia gali; ada yang di Afrika, ada yang di Asia (Indonesia, Kamboja, Philipina dan lainnya), semua itu ia lakukan atas nama ibunya. Juga sudah ribuah dispenser ia wakafkan di masjid-masjid, baik masjid-masjid di negerinya maupun di luar negeri, semua itu atas nama wakaf ibunya.
Pada suatu hari, selagi ia memasuki masjid kampungnya, ia dikejutkan oleh adanya dispenser di masjid itu. Ia pukul kepalanya: "Subhanallah, kenapa aku wakafkan dispenser di masjid lain, sementara masjid tempat aku shalat, justru tidak mendapatkan bagian! Sehingga keduluan oleh orang lain?!!!". Selesai shalat ia disalami sang imam, dan ia menjadi terkejut saat sang imam berkata: "Terima kasih pak Muhammad atas wakaf dispensernya". Dengan tergagap ia berkata: "Bukan saya yang mewakafkan?!!!". "Memang bukan pak Muhammad secara langsung, tetapi, Abdullah, putramu yang mewakafkannya atas nama pak Muhammad!!!".
Rupanya, sang anak yang bernama Abdullah, setiap hari menyisihkan uang jajannya, dan setelah cukup untuk membeli dispenser, ia serahkan kepada imam masjid untuk dibelikan dispenser dan atas nama bapaknya. Abdullah melakukan hal itu karena selalu melihat perilaku ayahnya yang selalu menyisihkan gaji, lalu diwakafkan atas nama ibunya.
Begitulah keberkahan birrul walidain, oleh karena itu, lakukanlah birrul walidain, agar putramu juga berbuat birrul walidain kepadamu, amiin.
musyafa.ar@gmail.com
Saturday, March 12, 2011
Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-2)
Dalam konteks perlakuan baik terhadap istri dan keluarga, Rasulullah saw pernah memantang para suami dengan sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku adalah sebaik-baik orang terhadap istriku (keluargaku).” (HR. Ibnu Majah).
Pada dasarnya, rumah tangga itu ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif yang saling mementingkan pasangannya, sehingga masing-masing akan memberikan hak pasangannya melebihi kewajibannya, dan tidak hanya menuntut haknya sendiri. Namun untuk itu, suami-istri harus bersabar atas kelemahan dan kekurangan bahkan kesalahan masing-masing pasangannya.
Dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan maksud ayat dari surat An-Nisa:19 adalah bahwa, “kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena suatu cacat pada fisik atau wataknya yang tidak termasuk kategori dosa karena urusan itu di luar kekuasaannya, atau kurang sempurna dalam melaksanakan kewajibannya dalam mengatur dan mengurusi rumah tangga, karena tidak ada orang yang sempurna, atau ada kecenderungan dalam hatimu pada selain pasanganmu, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan dan vonis pada mereka dan jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Manajemen emosi dengan baik dalam arti bersabar atas tabiat dan keadaan kodratinya bahkan perilaku pasangan dengan tetap mentarbiyah dengan ihsan dalam dinamika keluarga akan membuahkan sikap cinta yang tulus, murni dan tanpa dibuat-buat. Senyuman, belaian dan perlakuan kasih yang diberikan adalah tulus ibarat merekahnya bunga alami dan bukan seperti senyuman basa-basi bagaikan merekahnya bunga imitatif atau bunga plastik. Sesuatu kebajikan dan sikap baik harus tumbuh dari kesadaran nurani yang ikhlas bila ingin mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan pasangan tidak dapat dijamin hanya dengan nafkah lahir materi, namun justru perlakuan dan sikap sehari-hari yang simpatik adalah yang lebih efektif dalam menggaet hati pasangan dan akan memaklumi segala kekurangan fisik dan materi yang ada. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan tatapan simpatik dan akhlaq yang baik.”
Keahlian manajemen emosi ini kita dapat melihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada zaman Rasulullah saw. Kita melihat bagaimana Aisyah ra., ketika sedang emosi dan merasa jengkel terhadap Nabi saw, maka beliau tidak mengumbarnya, tetapi hanya diekspresikan melalui gaya bahasa yang berubah lain dari kebiasaan ketika sedang suka dan Nabi pun tanggap dengan cepat menangkap isyarat ketidaksukaan istrinya tersebut serta menyikapinya dengan penuh kesabaran dan introspeksi.
Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada istrinya, Aisyah ra, “saya sangat mengenal, jika kamu sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel.” Lalu Aisyah bertanya, “bagaimana engkau dapat mengetahuinya?” beliau menjawab, “jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah) ‘tidak, demi Rabb Muhammad’, namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan, ‘tidak, demi Rabb Ibrahim’. (HR. Muslim).
Sikap demikian bukan merupakan kekurangan Aisyah, justru merupakan kelebihannya dalam mengelola emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan menggoyang keharmonisan keluarga. Sehingga Imam Muslim memasukkan hadits tersebut dalam judul ‘fadlu (keutamaan) Aisyah’ dari Bab Fadhail Shahabah.
Manajemen emosi di sini bukan berarti mematikan dan membekukan perasaan, tetapi justru kaum wanita harus dapat bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga. Dengan demikian, akan terbangun komunikasi sehat yang lancar tanpa ada sumbatan dan hambatan apapun. Inilah yang menyehatkan hubungan dalam rumah tangga. Sebagaimana aliran air dan tekanan udara yang terhambat, tersendat ataupun tersumbat akan beresiko mendatangkan malapetaka.
Di samping itu, dalam manajemen emosi diperlukan sikap arif kaum wanita untuk tidak memancing ego dan emosi suami untuk menggunakan kekerasan karena kejengkelan dan kebenciannya yang memuncak, sehingga dapat mematahkan tulang yang berlekuk tadi, atau memecahkan gelas kristal yang berdimensi tersebut. Artinya, bila tidak ingin dipatahkan atau dipecahkan, maka jangan menempatkan diri pada posisi menantang, melintang atau sembarangan sehingga mengundang perlakuan semena-mena atau kasar. Ibarat air maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah alirannya dalam ketenangan dan kejernihannya sehingga dapat menghanyutkan perasaan pasangan dan mengalir ke satu arah dan bukan gemuruh riak yang memuakkan ataupun bukan ketenangan air yang menggenang yang membawa penyakit ataupun kotoran.
Pribadi yang shalihah adalah yang dapat mengelola emosi menjadi sebuah potensi yang membangun dan bukan merusak, merekatkan dan bukan meretakkan, mengokohkan dan bukan merobohkan serta mudah memberikan toleransi atau maaf pada orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga.
Allah berfirman: “dan orang-orang yang menahan amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran:134)
Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/gelas-gelas-kristal-manajemen-emosi-wanita-bagian-ke-2/Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-1)
Allah berfirman: “Dan bergaullah bersama mereka (istri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa:19).
Bila para pakar merasa kewalahan dan kebingungan untuk secara cermat dan pasti memahami hakikat manusia, seperti ekspresi Dr. Alexis Karel melalui bukunya Man is The Unknown yang menggambarkan akhir pencariannya pada frustasi, keputus-asaan dan jalan buntu dalam memahami hakikat dan perilaku manusia, maka tentunya manusia sendiri akan lebih sulit lagi meraba kejiwaan wanita yang pada aktualisasi emosinya bagaikan gelas-gelas kristal yang memiliki banyak dimensi, segi dan sudut sebagai bagian estetikanya namun pada saat yang sama secara embodied ia bersifat rawan pecah (fragile) perlu perlakukan lembut dan sensitif yang dalam bahasa Arab kaum wanita sering diistilahkan sebagai al-jins al-lathif (jenis lembut) terutama menyangkut dinamika kejiwaan, relung-relung emosional dan lika-liku perasaannya.
Dalam kodrat wanita terutama yang menyangkut emosinya yang demikian itu sebagai kelebihan sekaligus dapat pula berpotensi menjadi kekurangannya kadang kaum wanita sendiri sering salah paham dan sulit memahami dirinya apalagi mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik. Padahal secara kodrati penamaan wanita sebagai terjemahan dari an-niswah dalam bahasa jawa merupakan kependekan dari wani ditata yang berarti berani ditata atau dikelola.
Dengan demikian sebenarnya manusia itu sendiri sudah merasakan kodrat hidup dan apa yang dialaminya, sudah menangkap adanya sesuatu yang menjadi fitrah dan takdirnya sebagaimana Allah ungkapkan hal itu pada surat al-Qiyamah: 14. Namun secara empiris manusia lebih suka mencari jati dirinya di luar dirinya, lebih cenderung mencari faktor, oknum dan kambing hitam selain dirinya dengan menutup, menipu dan membodohi diri sendiri. Oleh karenanya Allah Sang Khalik mengingatkan umat manusia untuk melihat ke dalam, mengaca diri dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan kekurangan dan kelebihannya tanpa dinodai upaya manipulasi dan distorsi. (QS. Adz-Dzariyat:21)
Ayat di atas sangat erat dan lekat dengan pasangan suami istri sebagai pesan pertama pernikahan. Ayat ini begitu agungnya melandasi ikatan perkawinan sehingga dicantumkan di halaman pertama buku nikah sebagai wasiat ilahi hubungan suami istri yang harus dilandasi kepada kesadaran tenggang rasa, ngrekso dan ngemong satu sama lain yang merupakan bahasa lain dari pengendalian perasaan dan manajemen emosi dalam rumah tangga.
Rasulullah bersabda:
“Terimalah wasiat tentang memperlakukan kaum wanita (istri) dengan cara yang baik. Karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang melekuk. Dan sesuatu yang paling melekuk itu adalah sesuatu yang terdapat pada tulang rusuk yang paling atas. Jika hendak meluruskannya secara paksa tanpa hati-hati, maka kalian akan mematahkannya. Sedang jika kalian membiarkannya, maka ia akan tetap melekuk. Oleh karena itu, terimalah wasiat memperlakukan wanita dengan baik.” (HR. Ahmad dan Al-Hafidz Al-Iraqi).
Pada riwayat lain dari hadits ini dijelaskan, bahwa sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk berlekuk. Jika kalian mencari kenikmatan darinya, maka kalian akan mendapatkannya. Sedangkan di dalam dirinya masih tetap ada sesuatu yang melekuk. Di mana jika kalian hendak meluruskannya, maka kalian akan mematahkannya. Patah di sini berarti perceraian. (HR. Muslim).
Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah (II/708) menjelaskan makna hadits di atas ialah: “terimalah wasiat dariku (rasulullah) dan gunakan untuk memahami wanita (isteri). Karena pada penciptaannya terdapat sesuatu yang ‘melekuk’. Sebagaimana lazimnya setiap sesuatu akan mewarisi sifat dasarnya. Jika seseorang ingin mengarungi bahtera rumah tangga bersama pasangannya, maka ia harus siap untuk mentolerir dan memaafkan perkara-perkara sepele yang terjadi dan menahan amarah karena sesuatu yang tidak disukainya.”
Dalam hal itu, Rasulullah saw tidak bermaksud memvonis bahwa wanita itu adalah makhluk yang berperangai buruk. Beliau hanya ingin menyampaikan fakta, fenomena dan realitas nyata agar kaum pria bersikap realistis dan siap berinteraksi, bergaul dengan mitra hidupnya dan bagi kaum wanita agar dapat mawas diri. Artinya, jika dalam diri istrinya didapati suatu letupan maupun ledakan emosi, serta menyaksikan ekspresi maupun luapan perasaan yang tidak berkenan di hatinya, maka ia akan menghadapinya dengan sabar dan bermurah hati, tanpa bersikap reaktif dan terpengaruh amarah sehingga menumbuhkan kebencian dan rasa muak, namun ia justru akan melihat sisi baik mitranya. Karena ia hanyalah seorang manusia yang mempunyai sisi baik dan sisi buruk sebagaimana dirinya. Karena itu, Rasulullah bersabda: “seorang mukmin hendaknya tidak membenci mukminat hanya karena satu perangai yang dianggap buruk. Sebab, jika ia membenci satu perangai, maka pastilah ada perangai lain yang akan ia sukai.”
Sejarah tidak pernah menjumpai dalam satu agama atau tradisi mana pun, suatu ajaran yang begitu care, apresiatif dan menghargai kodrat dan hak-hak wanita melebihi doktrin ajaran Islam. Adakah hikmah dibalik kehendak Allah menciptakan wanita dalam keadaan demikian? Memang, Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia (QS. Ali-Imran: 191) dan Dia mengamanahkan kepada kaum wanita tugas-tugas penting dan sensitif seperti hamil, menyusui dan mendidik anak. Untuk itu Allah saw mempercayakan kepada mereka sifat-sifat dan pemberian yang sesuai tugasnya, yang berbeda dari sifat kaum pria dan pembawaannya.
Dr. Frederick mengatakan bahwa kaum wanita mengalami proses stagnasi yang tidak hanya terjadi pada perubahan fisiknya saja, melainkan juga pada tabiat dan keadaan psikisnya. Karena seandainya ia tidak memiliki emosi dan sifat kemanjaan anak-anak, maka pastilah ia tidak mampu menjadi ibu yang baik. Ia bisa dipahami anak-anak karena perasaannya yang masih terdapat unsur kekanak-kanakan.
Menurutnya, ia akan tetap seperti anak-anak dalam kemanjaan dan emosinya, bahkan dalam perkembangannya wanita lebih banyak bersifat kekanak-kanakan. Kelembutan hatinya dan sensitivitas perasaannya cenderung semakin bertambah lebih cepat dibanding daya pikirnya. Praduga, perasaan dan emosinya lebih banyak dipakainya daripada rasionya. Karena ia terkondisikan untuk lebih banyak bersikap pasif daripada bersifat aktif dan lebih banyak menerima dengan sikap pasrah daripada bersikap menguasai. Ia secara kodrati tercipta untuk berada di tengah anak-anak dan suami. Demikianlah posisinya dalam keluarga, yaitu pada titik sentral, untuk menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan segala kecenderungan masing-masing. (Hayatuna al Jinsiyah, hal. 70).
Jika suami mampu memahami, maka ia akan menerima kenyataan dan mendapat kesenangan dari istri dalam batas-batas fitrahnya. Tetapi, jika ia tidak mampu memahaminya, maka ia akan berusaha menjadikan istrinya berbuat sesuai dengan ego kelaki-lakiannya, dari segi berfikir, sehingga mungkin ia akan gagal. Mungkin saja ia akan menghancurkan keluarganya, tempat di mana ia menyandarkan hidupnya. Karena ia menuntut hal mustahil di luar kodratnya. Oleh karenanya, Nabi saw berusaha mengingatkan suami agar hendaknya mendampingi, membimbing, mendidik dan tidak menjatuhkan hukuman dan vonis kepada istrinya hanya karena memiliki suatu sifat yang jelek, sebab ia pun demikian.
Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang agung, rahmatnya telah menyentuh kaum wanita dan melindunginya dari kesewenangan kaum pria. Ia telah memerdekakan perikemanusiaannya, baik jiwa maupun raga. Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai posisi dan jati diri wanita untuk mengemban tugas dan fungsi keberadaannya. Oleh karena itu, mereka sebaiknya menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaan yang ada pada diri mereka untuk menghadapi perlakuan yang dapat membuat mereka melepaskan eksistensi biologis dan psikologisnya.
Ketika fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat karena tidak mengindahkan sunnatullah. Oleh karena itu Rasulullah saw berpesan:“Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Islam telah mengangkat harkat dan derajat kaum wanita serta menjadikan mereka sebagai saudara yang sejajar dengan kaum pria. Syariat Islam telah memelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.
Kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi wanita ini merupakan kunci pertalian cinta kasih pasangan suami istri yang menjadi jembatan menuju keluarga sakinah (QS.Ar-Rum:21). Dengan itu Allah menumbuhkan benih cinta di hati suami-istri sehingga dapat mendorong untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing dalam bentuk yang paling sempurna tanpa ada perasaan tekanan dan kesan paksaan. Cinta suci tersebut merupakan perasaan tulus yang mendalam tanpa kedustaan dan kepura-puraan serta merasuki hidup sepanjang hayat. Nabi saw. pernah mengungkapkan kenangan cintanya pada Khadijah, “aku sungguh telah mendapatkan cinta sucinya.” (HR. Muslim).
Hal ini bukan berarti tumbuh secara tiba-tiba tanpa adanya upaya menanam dan merawat benih cinta, karena beliau memulai perkawinan dengan perasaan simpati yang netral. Namun benih cinta kasih pasangan suami istri yang shalih ini cepat tumbuh berkembang secara subur sebagai buah dari pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), kesetiaan, akhlaq setia, saling memberi dan menerima dengan tenggang rasa yang tinggi. Bukankah doktrin ta’aruf dalam Islam adalah untuk menuju tawasahu bil haqqi dalam atmosfir toleransi dan kesabaran terhadap watak masing-masing. Dengan sikap demikian maka suami istri menikmati kehidupan bersama yang baik dan menyenangkan.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/gelas-gelas-kristal-manajemen-emosi-wanita-bagian-ke-1/Onde-Onde Ketawa
Bahan:250 gr tepung terigu protein rendah
1/2 sdt Baking Powder Double Acting (BPDA)
75 gr gula pasir
25 gr margarine
1/2 sdt vanilli2 btr telur
Bahan lain:
1/2 mangkok air
50 gr wijen putih
1/2 ltr minyak goreng
Cara Membuatnya:
1. Campur tepung terigu dan BPDA, aduk rata. Sisihkan.
2. Kocok mentega dan gula pasir hingga lembut, masukkan telur satu persatu sambil tetap dikocok sampai mengembang. Matikan mikser.
3. Tuang terigu kedalam adonan telur, aduk rata dan ulen perlahan sampai bisa dipulung.
4. Bentuk bulat seperti bola ping-pong, celupkan kedalam air sebentar langsung gulingkan diatas wijen putih.
5. Goreng dalam wajan dengan minyak banyak dan api sedang hingga mekar dan berwarna kuning kecoklatan.
Angkat. Tiriskan. Dinginkan dan simpan dalam toples.
Thursday, March 10, 2011
DVD Tahsin Metode SYABANA
KEUNGGULAN METODE SYABANA:
* Menggunakan Metode Kisah/Struktural Analitik SIntetik (SAS) sehingga pesan lebih mudah dicerna dan divisualisasikan
* Menggunakan Metode Kitabah/Kinestetik dengan pengulangan untuk memperkuat daya ingat
* Menggunakan Metode Amtsal/Analogi
* Praktis, Sistematis dan Interaktif
* Belajar tajwid lebih mudah dengan kode warna dan rumus-rumus praktis tajwid
Info selengkapnya bisa dilihat di sini.
(Sumber dari sini)
Wednesday, March 9, 2011
Resensi Buku : 10 Bersaudara Bintang Al Qur'an
Penerbit : Sygma Publishing - Bandung
Tahun : 2009
Jumlah halaman : xiv + 150 halaman
Buku ini memang bukan buku baru, tetapi insya Allah akan bisa menjadi inspirasi dan motivasi baru bagi kita yang membacanya.
Buku ini menuturkan kisah nyata dari pasangan Mutamimul ‘Ula (Pak Tamim) dan Wirianingsih (Bu Wiwi) dalam membesarkan putra-putrinya menjadi hafiz Al Qur’an dan berprestasi.
Pada bagian pendahuluan, penulis menyampaikan fakta Ke-Maha-Agung-an Allah dalam menjaga kemurnian Al Qur’an sampai akhir zaman, pembagian Al Qur’an, Al Qur’an sebagai mukjizat, sejarah turunnya Al Qur’an, kodifikasi Al qur’an dan sejarah pemeliharaan kemurnian Al Qur’an. Dengan penjelasan ini, insya Allah akan semakin mengenalkan kita pada Al Qur’an, menguatkan pemahaman kita akan keutamaannya dan menumbuhkan motivasi kita untuk menjadi serta melahirkan hafidz (penjaga) Al Qur’an. Firman Allah, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya.” (QS Al Hijr (15) : 9).
Pak Tamim dan bu Wiwi sebenarnya bukanlah pasangan yang memiliki hafalan Al Qur’an luar biasa. Mereka baru menghafal beberapa juz saja. Bagaimana mereka bisa mendidik putra-putrinya untuk menghafalkan Al Qur’an? Jawabannya adalah adanya keyakinan yang kuat dan kecintaan mereka untuk kembali kepada Al Qur’an yang mendasari pasangan ini untuk membuat anak-anaknya menjadi penghafal Al Qur’an. Aktifitas dakwah dalam kehidupan perkawinan mereka juga menjadi salah satu hal yang mengilhami Pak Tamim untuk membawa keluarganya sebagai keluarga Qur’ani. Beliau ingin semua putranya menjadi para penghafal Al Qur’an yang tidak hanya cerdas secara ukhrawi, tetapi juga cerdas secara duniawi.
Bu Wiwi sendiri lahir di lingkungan keluarga cukup tekun beragama. Beliau belajar banyak dari kedua orang tuanya yang dengan tekun dan disiplin dalam mengajarkan Islam kepadanya. Di saat mudanya pun, beliau sudah berani tampil beda, dengan jilbab rapinya dan aktif di organisasi ke-Islam-an. Adapun Pak Tamim, beliau dilahirkan di tengah keluarga yang aktivis pergerakan Masyumi. Sejak duduk di bangku SMP, beliau aktif dalam organisasi, dan hampir selalu menjadi pemimpin dalam organisasinya, hingga kemudian menjadi salah satu motor penggerak Partai Keadilan. Kini, beliau mendapat amanah sebagai legislator Dewan Pimpinan Rakyat Republik Indonesia.
Pasangan aktivis dakwah yang super sibuk ini -Bu Wiwi yang menjadi Ketua Salimah (sebuah organisasi muslimah yang tersebar di 29 propinsi), staf departemen kaderisasi DPP PKS, Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, dan Presidium BMOIWI. Pak Tamim menjadi legislator DPR RI- , tidak lalai akan tanggung jawab mereka yang utama, yaitu mendidik keluarga. Mereka berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tugas integrasi antara ayah dan ibu.
Lantas apa kunci keluarga Pak Tamim dan Bu Wiwi dalam menyiasati kesibukan dan keluarga? Keseimbangan proses. Walaupun mereka berdua sibuk, mereka telah menetapkan pola hubungan keluarga yang saling bertanggung jawab dan konsisten satu sama lain. Jadwal ruhiyah mereka selepas maghrib adalah berinteraksi dengan Al Qur’an. Jika mereka sedang jauh dari putra-putrinya, keduanya berusaha tetap berkomunikasi dengan putra-putrinya.
Menjadikan putra-putrinya seluruhnya hafal Al Qur’an adalah visi yang tertanam begitu kuat pada keluarga Pak Tamim, yang kemudian dikembangkan menjadi tahapan-tahapan misi serta rencana strategis untuk mencapainya.
“Enam tahun pertama, diawali pasangan ini dengan memberikan bekal dan motivasi kepada anak-anaknya untuk menghafal. Enam tahun kedua, mulai diciptakan lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan fitrah Qur’ani anak-anaknya. Dan enam tahun berikutnya, diarahkan untuk mengikuti perkembangan kecenderungan ilmu
yang diminati putra-putrinya.”
Pembiasaan dan manajemen waktu juga menjadi kunci sukses cita-cita besar ini. Seperti Bu Wiwi yang secara intensif dan istiqamah mengagendakan interaksi dengan Al Qur’an bagi putra-putrinya setiap ba’da subuh dan ba’da maghrib. Pak Tamim pun berusaha mengkomunikasikan tujuan pendidikan keluarganya dengan menyampaikannya secara langsung kepada putra-putrinya. Hal ini pun bisa menimbulkan efek psikologis yang positif bagi anak-anaknya. Metode pemberian hadiah yang biasa digunakan oleh para pendidik, juga diterapkan oleh Pak Tamim dan Bu Wiwi. Usaha pasangan suami istri ini sungguh luar biasa, dan hal ini pun diakui oleh anak-anaknya. Mereka sangat bersyukur dikaruniai kedua orang tua yang terus memotivasi mereka untuk menjadi hafiz-hafizah Qur’an.
Putra-putri Pak Tamim dan Bu Wiwi yang berjumlah 11 orang (7 anak laki-laki dan 4 anak perempuan, putri kesebelasnya telah meninggal dunia di usia 3 tahun) kini telah tumbuh menjadi hafiz-hafizah Qur’an dan memiliki prestasi di bidangnya masing-masing.
“Keyakinan bahwa saat seorang anak memiliki bacaan, hafalan dan intensitas dalam berinteraksi dengan Al Qur’an bagus, semuanya akan bagus. Artinya, prestasi duniawi pun akan bergerak mengikuti prestasi ukhrawi berupa kemampuan menghafal Al Qur’an.
Pak Tamim pun yakin bahwa Al Qur’an adalah dasar bagi segala ilmu.”
Pada akhir buku, penulis juga menambahkan uraian tentang keutamaan yang akan diraih oleh penghafal Al Qur’an, baik di dunia maupun di akhirat, dan beberapa kunci sukses menjadi penghafal Al Qur’an.
Insya Allah, dengan pemaparan yang baik oleh penulis, kita akan bisa menikmati isi buku ini. Jadi lebih lengkapnya, baca langsung di bukunya ya… Semoga Allah juga memberikan kemudahan bagi kita untuk membentuk keluarga yang berbasis Qur’ani.
Wallohu a’lam bish showab