Tuesday, March 22, 2011

Birrul Walidain (berbakti pada orang tua)




Oleh : Ust Musyafa Ahmad Rahim


Rasanya, jarum jam di dinding Ummu Muhammad berjalan lambat, benar-benar lambat untuk sampai ke angka 6 sore. Ummu Muhammad terus memandangi jarum jam itu, kalau memungkinkan, ia hendak mempercepat perjalanan jarum jam itu agar segera sampai di waktu Maghrib, agar malam segera tiba, dan tidak lama lagi ia akan beristirahat. Itulah hari pertama Ummu Muhammad sebagai seorang janda, di mana baru kemaren saja suaminya, Abu Muhammad meninggal dunia dan dikuburkan. Ia meninggalkan seorang istri, Ummu Muhammad dan seorang anak lelaki, Muhammad, yang masih sangat kecil, 3 tahun, sebab Abu Muhammad meninggal dunia dalam usia muda, 26 tahun.

Saat itu, rumahnya masih diramaikan oleh mereka yang melakukan ta'ziyah. "Bersabar dan relakan kepergian Abu Muhammad, semoga Allah SWT akan menjadikan Muhammad lelaki yang berbakti kepada ibunya, sehingga dapat menghapus segala duka dan nestapa yang mungkin menimpa dirimu", begitu bunyi sebagian do'a yang diucapkan mereka. Dan begitulah keadaan Muhammad, ia menghabiskan masa kecilnya sebagai anak yatim, bersama ibunya yang sangat sayang kepadanya, sehingga sang ibu itu seakan ayah dan ibu sekaligus.

Seiring berjalannya waktu, masuklah Muhammad Sekolah Dasar, dan - subhanallah - semenjak kelas satu, sampai kelas enam, Muhammad selalu berada pada posisi ranking satu dengan nilai istimewa. Sebagai rasa syukur, sang ibu membuat "pesta" dengan mengundang para tetangga dan kerabat, pesta dari seorang janda yang hidup dengan bekerja di sebuah "perusahaan" kain tenun dengan gaji ala kadarnya untuk penyambung hidup diri dan putranya, dan itupun dilakukannya di rumah sendiri, dan setelah selesai ordernya, baru diserahkan kepada "perusahaannya".

Setelah malam tiba, dan para undangan pulang ke rumah masing-masing, sang ibu memanggil Muhammad, dan membisikkan kata-kata: "Putraku Muhammad, kamu sudah mulai tahu bahwa kehidupan ibumu sangatlah miskin, tetapi saya bertekad untuk terus bekerja menenun secara mandiri, lalu menjualnya, dan cita-citaku adalah agar engkau terus melanjutkan studi-mu sehingga engaku lulus sebagai seorang sarjana, sehingga keadaanmu akan jauh lebih baik di masa mendatang". Mendengar tekad ibunya, Muhammad menangis sambil merangkul ibunya, dan dengan kepolosan seorang bocah ia berkata: "Mama, kalau saya nanti masuk surga, insyaAllah akan aku beritahukan kepada papa, bahwa mama adalah seorang yang sangat mulia kepadaku". Mendengar jawaban lugu seperti itu, air mata Ummu Muhammad tidak dapat dibendung lagi, sambil tersenyum, ia elus kepala anaknya.

Waktu terus berjalan dan Muhammad telah lama belajar di sebuah universitas di negerinya dan tidak lama lagi akan menyelesaikan studinya dan akan menjadi seorang sarjana, sementara ibunya tetap berprofesi sebagai seorang penenun freeland dan menjualnya, seakan pekerjaan itu baru ditekuninya semenjak kemaren sahaja.

Suatu hari, Muhammad melihat satu kondisi yang membuatnya menangis, ia baru saja tiba dari rumah salah seorang temannya, ia dapati ibunya tertidur, pada wajahnya tampak garis-garis ketuaan dan kelelahan yang luar biasa, sementara di tangannya terpekang benang, kain tenun dan peralatan lainnya. Muhammad menangis, betapa ibunya telah sedemikian besar berjuang dan berkorban untuk dirinya. Di malam hari itu Muhammad tidak dapat tidur, dan paginya ia pun tidak masuk kuliah, bahkan ia bermaksud untuk mengikuti program kuliah di Universitas Terbuka saja, agar dapat menyambi bekerja guna meringankan beban ibunya. Mendengar niatan seperti itu sang ibu marah besar, dan di antara kalimatnya: "Keridhaanku kepadamu adalah kalau engkau menyelesaikan studi kesarjanaanmu seperti yang sekarang ini, dan bukan menjadi mahasiswa UT yang sambilan, dan aku berjanji, kalau engkau sudah lulus, dan mendapatkan pekerjaan, saya akan meninggalkan pekerjaanku ini".

Itulah yang kemudian terjadi, dan akhirnya Muhammad bersiap-siap untuk ikut wisuda dan ia mulai berangan-angan dan membayangkan mendapatkan pekerjaan agar dapat merehatkan ibunya yang semakin menua tersebut. Dan itulah yang terjadi kemudian, begitu lulus, Muhammad langsung mendapatkan pekerjaan.

Muhammad mulai bekerja dan sang ibu mulai menimang-nimang alat tenun untuk siap-siap ia hadiahkan kepada tetangganya, peralatan yang telah sekian lama menyertai hidupnya. Muhammad pun mulai menghitung hari-hari bekerjanya, ia mulai membayangkan gaji pertama yang akan diterimanya, ia mulai berfikir, untuk apa gaji pertama itu, apakah akan ia pergunakan untuk mengajak ibunya plesir, jalan-jalan, ataukah gaji itu ia pergunakan untuk membelikan baju dan perhiasan ibunya? Selagi ia berpikir dan melamunkan demikian, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan ibunya ke dalam kamarnya, dan pada wajahnya tampak kekuningan tanda kelelahan yang amat sangat, sang ibu berkata: "Muhammad, ibu merasa sangat letih, aku tidak tahu apa sebabnya". Tidak lama kemudian sang ibu pingsan.

Muhammad bergegas menolongnya, ia lupa dirinya, lupa pekerjaannya, hatinya telah ia tumpahkan kepada ibunya, ia bawa ibunya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan segera. Ibunya masuk ruang IGD dan ia tidak diperkenankan ikut masuk. Dengan panik ia menunggu di luar ruangan, batinnya tidak pernah berhenti untuk mendoakan kebaikan bagi ibunya. Tidak lama setelah itu, ruang IGD terbuka dan ia pun memburu seorang dokter yang tampak muncul. Sebelum ia bertanya, sang dokter berkata: "Mas Muhammad, bersabarlah dan relakan kepergian ibumu". Muhammad kehilangan keseimbangannya, dan terjatuh pingsan, dan itulah takdir Allah yang terjadi. Setelah sadar, tidak ada pilihan baginya kecuali menerima takdir Allah SWT, dan ia hantarkan ibunya ke tempat pemakamannya untuk menyusul sang suami yang telah lama mendahuluinya.

Tibalah hari di mana Muhammad menerima gaji pertamanya, tapi, apa arti gaji tanpa ibu, apa arti harta tanpa ia dapat membalas jasanya? Saat melamun begitu, tiba-tiba muncul gagasan dalam pikirannya: bagaimana caranya berbakti kepada sang ibu, walaupun ia telah meninggal dunia, dan akhirnya ia mendapatkan ide untuk mengkhususkan seperempat gajinya pada setiap bulannya untuk ia sedekahkan atas nama sang ibu, dan itulah yang kemudian terjadi.

Sudah ratusan sumur ia gali; ada yang di Afrika, ada yang di Asia (Indonesia, Kamboja, Philipina dan lainnya), semua itu ia lakukan atas nama ibunya. Juga sudah ribuah dispenser ia wakafkan di masjid-masjid, baik masjid-masjid di negerinya maupun di luar negeri, semua itu atas nama wakaf ibunya.

Pada suatu hari, selagi ia memasuki masjid kampungnya, ia dikejutkan oleh adanya dispenser di masjid itu. Ia pukul kepalanya: "Subhanallah, kenapa aku wakafkan dispenser di masjid lain, sementara masjid tempat aku shalat, justru tidak mendapatkan bagian! Sehingga keduluan oleh orang lain?!!!". Selesai shalat ia disalami sang imam, dan ia menjadi terkejut saat sang imam berkata: "Terima kasih pak Muhammad atas wakaf dispensernya". Dengan tergagap ia berkata: "Bukan saya yang mewakafkan?!!!". "Memang bukan pak Muhammad secara langsung, tetapi, Abdullah, putramu yang mewakafkannya atas nama pak Muhammad!!!".

Rupanya, sang anak yang bernama Abdullah, setiap hari menyisihkan uang jajannya, dan setelah cukup untuk membeli dispenser, ia serahkan kepada imam masjid untuk dibelikan dispenser dan atas nama bapaknya. Abdullah melakukan hal itu karena selalu melihat perilaku ayahnya yang selalu menyisihkan gaji, lalu diwakafkan atas nama ibunya.

Begitulah keberkahan birrul walidain, oleh karena itu, lakukanlah birrul walidain, agar putramu juga berbuat birrul walidain kepadamu, amiin.


musyafa.ar@gmail.com

No comments:

Post a Comment